Senin, 24 Desember 2012, adalah
perjalanan liburan kami setelah kurang lebih 16 tahun tidak ke tanah ini, tanah
Sulawesi, tepatnya di desa Latteko. Yap, si anak kota ini berlibur ke desa sodara-sodara.
Baik, sebagai awalan, coba sempatkan waktu untuk mencari nama desa tersebut di atlas,
atau mungkin di google map.. ketemu ? tidak? Baiklah. Mari sini duduk yang
manis, biarkan matamu menari mengikut arah tulisan ini. Tapi, harap diketahui,
tujuan tulisan ini bukan berfokus pada keindahan alam di sana (karena alamnya indah
banget sumpeehh), tapi, banyak ‘tamparan-tamparan’ kecil yang saya dapatkan di
sana, maka, izinkan saya membagi ‘tamparan’ tersebut. Oke kawan J
FYI, untuk mencapai desa ini, kita harus menempuh waktu 5-6 jam, dengan perjalanan yang mendaki-gunung-lewati-lembah (well, ini berlebihan. Abaikan~) tapi memang, jalanan yang berkelok-kelok dengan guncangan-guncangan dahsyat sesekali, sangat mengganggu perjalanan sampai-sampai mampu membuat saya lupa ingatan, mendadak tak mengenali si supir yang mengendarai (emang sebelumnya kenal na ? engga ~ Oke.-,-). Di dukung dengan kondisi sinyal Ind*sat yang seperti malu-malu untuk menampakan diri, maka, situasi ini sudah cukup menggambarkan bahwa desa yang saya datangi adalah desa yang jauuuuh dari jamahan kota. Lengkap sudah.
Bersyukur, sesampainya di sana
kami menginap di salah satu rumah saudara yang bisa dikatakan mampu
dibanding ‘tanah-tanah’ sekitarnya. Sambutan hangat sang tuan rumah, sambutan
ramah penduduk alam yang hijau mampu
mengembalikan ingatan saya dengan si supir pengendara tadi (well, lain waktu,
kita kenalan sama si supir oke ^^). Desa itu masih sangat kental akan nilai
budaya dan adat istiadat. Salah satu yang benar-benar menyadarkan saya berada
di Sulawesi adalah rumah panggungnya. Unik. Hampir seluruh penduduk di desa
tersebut menempati rumah panggung. Agak ngeri’ ketika suatu hari kami
bersilaturrahim ke rumah-rumah saudara di sana, naik ke rumah-rumah yang
terbuat dari kayu, yang sesekali terdengar suara reyotan kayu, berasa mau
rubuh. Nah, tamparan pertama yang saya dapat adalah ketika melihat kondisi salah
satu rumah di sana yang terpojok di kebun-kebun pohon mangga. Rumahnya jauh
dari kata sederhana, ruang tamunya ? itu tempat tidurnya. Aroma tanah basah dan
kebun-kebun hijau yang lembab, sangat menusuk. Sungguh prihatin melihatnya. Merasa
tertampar karena saya dengan kondisi yang sangat-bebas-bergerak di rumah masih
sering sesekali terbersit keluhan “ah, coba punya ini.. ah, coba punya itu..”
malu. Sungguh malu. Astagfirulloh.. kufur hambaMu Ya Allah..
Bahkan, beliau yang kami datangi tersebut, dengan segala yang serba cukup (malah mungkin kurang) masih bisa hidup dengan senyum berderai.. tawa membuncah.. tak ada sebersit dalam fikirannya untuk kufur. Sungguh, tamparan Allah sangat menyesakkan dada. Astagfirulloh..
Bahkan, beliau yang kami datangi tersebut, dengan segala yang serba cukup (malah mungkin kurang) masih bisa hidup dengan senyum berderai.. tawa membuncah.. tak ada sebersit dalam fikirannya untuk kufur. Sungguh, tamparan Allah sangat menyesakkan dada. Astagfirulloh..
Tamparan itu tak sekali dua kali
mengahampiri, kawan. Di hari lain, kami juga mendatangi salah satu penduduk
disana. Semakin sesak terasa di dada ketika kami menaiki rumahnya. Kami dijamu
dengan sangat ramah. Ah, ini salah satu yang saya suka dari silaturrahim, persaudaraan
begitu terasa kental. Disela-sela mereka yang sedang berbincang, maka saya
sempatkan untuk berkeliling rumahnya, dan Nyess.. dada ini kembali sesak
mendapati kondisi dapur dan kamar mandi yang.. astagfirulloh, ampuni saya yang
sering kufur akan kenikmatan rumah yang layak. Semoga Allah meringankan beban
mereka. Mungkin kalian, yang notabene anak kota, akan ikut terenyuh ketika
melihat kondisi ekonomi di desa ini. Terlintas dalam pikiran saya bagaimana
kita sering merengek’ ingin punya ini
itu. Sering juga kita mengeluh karena tak punya ini itu.
Tapi, lihat mereka, senyum mereka sungguh memancarkan rasa syukur tiada tara. Tak ada keluahan akan keadaan. Tak ada tangis akan kekurangan. Semangat gigih-berusaha yang dimilik setiap penduduk disini yang menjadikan kekayaan alami desa ini. Bagaimana dengan kita ? Jangan-jangan, karena kita di kota, karena semua serba ada, maka, si ‘gigih’ mulai enggan menghampiri. Astagfirulloh..
Salah satu yang sangat berkesan (dan
tak lupa tetap ada ‘tamparan’) adalah ketika di hari terakhir saya, kakak,
nenek, dan tante berkesempatan untuk menginap disalah satu rumah panggung milik
saudara disana. Penggambaran kondisnya gampang, pada punya TV kan? (Ituloh kotak
yang kalo dialiri listrik muncul gambar orang-orang nyuci baju sambil teriak
yeye-lalala-yeyeyeye-lalalala. Got it ? Good ~). Nah, pernah nonton ‘Andai Aku
Menjadi’nya Trans TV? Seperti itulah kondisi rumahnya. Rumah panggung
(belakangan diketahui rumah tersebut sudah berdiri lebih dari 20 tahun. Ih wow)
yang terbuat dari pure kayu keseluruhan, dan dengan pencahayaan yang minim
(well, Alhamdulillah, desa ini sudah dialiri listrik,walau tak jarang lampu
padam tanpa melihat situasi kondisi). Benar-benar terasa ke-se-der-ha-na-an-nya.
Jauh dari hiruk pikuk kota. Jauh dari kemewahan yang serba ada. Semua terbatas.
Bandingkan dengan kita, yang jika lampu padam (hanya untuk beberapa jam), maka
sumpah-serapah-keluh-kesah-tiada-tara terus mengalir dari lisan yang kita punya.
Tapi mereka, lampu bisa menyala sepanjang hari saja itu rasa syukur yang luar
biasa. Astagfirulloh.. Astagfirulloh.. Astagfirulloh.. Semoga Allah ampuni
segala bentuk kufur kita..
oiya, Kondisi airnya-pun, sepertinya sulit untuk dibilang itu air bersih. ‘Tamparan-tamparan keras’ terus terasa. Sudah berapa banyak air yang kita buang tanpa pikir panjang ? sudah berapa sering ‘Alhamdulillah’ terucap ketika air mengalir deras, jerni, dan bersih. Masyaallah..
Malam itupun, kami terlelap di rumah tersebut, dengan ditemani gogongan anjing, nyanyian tokek, dan paduan suara jangkrik.
oiya, Kondisi airnya-pun, sepertinya sulit untuk dibilang itu air bersih. ‘Tamparan-tamparan keras’ terus terasa. Sudah berapa banyak air yang kita buang tanpa pikir panjang ? sudah berapa sering ‘Alhamdulillah’ terucap ketika air mengalir deras, jerni, dan bersih. Masyaallah..
Malam itupun, kami terlelap di rumah tersebut, dengan ditemani gogongan anjing, nyanyian tokek, dan paduan suara jangkrik.
Well, masih banyak lagi ‘tamparan-tamparan’
yang saya dapat disana. Biarkan itu menjadi pengalaman berharga saya. 7 hari
merupakan waktu yang sangat cukup bagi saya merasakan hidup sebagai anak desa. Lebih
dari itu, mungkin saya akan mencari-cari kamera untuk melambaikan tangan
(lebay~).
Terimakasih Tuhan, kau beri kesempatan kepada saya untuk bisa
merasakan hidup dengan kondisi yang berbeda.
Mungkin kalian berfikir saya salah
jika membanding-bandingkan kehidupan kita di kota dengan mereka di desa. Ya,
memang tak sebanding, dan mungkin tak akan pernah sebanding. Atau mungkin
terlalu jauh perbandingannya, toh di kota sendiri masih banyak yang
kehidupannya jauh dari layak.
Tapi sekali lagi, yang ingin disampaikan disini adalah membangkitkan kembali “rasa syukur” yang harus mulai menjadi jati diri. “Rasa Syukur” akan apa yang didapat, apa yang diraih dijadikan sebagai karakter diri. Bahwa sekali kita kufur, ingat selalu beribu-ribu anak langit disana menderita karena sulit hidup teratur. Bahwa sekali mengeluh, ada banyak saudara-saudara kita yang harus berpeluh untuk memenuhi kebutuhan hidup secara utuh.
Inilah realita kawan. Mari terus
bersyukur, agar Berkah Allah bertabur, dan kita senantiasa dijauhkan dari rasa Kufur.
Maaf atas segala keterbatasan tulisan. Semoga 'oleh-oleh' ini dapat bermanfaat :D
Terimakasih yaa sudah mau duduk manis dan menyimak dengan baik :)
Regard,
NaFF~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar